Pagi di Jakarta. Shelter TransJakarta ramai, penuh berdesakan. Terkadang harus bersisian dengan mbak-mbak atau mas-mas yang oversweat dan kalau lagi sial malah (maaf) bau ketek. Ketika Bus yang ditunggu datang, lalu dorong-dorongan penuh semangat nggak peduli bus yang ingin dinaiki sudah bejubel isinya. Semua demi datang ke kantor tepat waktu.
Sejak Senin kemarin, jam masuk di kantor saya maju menjadi jam 08.30. Aduh sekali. Masalahnya, rumah saya di Cawang dan kantor saya di Pluit. Pluit itu semacam ujung Jakarta lah. Kalau jalanan lancar, sebenarnya bisa ditempuh hanya dengan setengah jam saja naik mobil. Masalahnya, kapan Jakarta lancar kalo bukan pas lebaran? Lalu, demi tepat waktu, saya harus berangkat dari rumah jam 06.00 dan bangun jam 05.00. Yap, sementara dulu-dulu jam segini saya baru pulang sidejoban.
Kemarin-kemarin saya agak kurang peduli dengan jam masuk, karena pekerjaan saya selalu beres. Tapi, dipaksa keadaan, saya HARUS peduli. Maka saya merelakan kantor me'rampas' diri saya, yang lebih milih disuruh begadang daripada bangun pagi. Yang lebih berorientasi kepada hasil dibanding cara.
Yang melakukan pekerjaannya dengan hati.
Karena terpaksa berangkat pagi, maka saya lalu mengobservasi mereka-mereka yang berjubelan bersama saya. Tanpa ekspresi di wajah, tanpa peduli keadaan sekeliling, yang penting sampai kantor. Biar nggak telat. Demi kantor.
Benci sekali saya menjadi bagian dari orang-orang yang begitu.
Dulu saya pernah bicara kepada diri sendiri, bahwa saya nggak akan berhenti menjadi lebih baik dalam editing. Bahwa ini cinta, bukan hanya cara biar saya punya uang untuk makan. Bahwa saya mau terus belajar dan tidak akan menjadi robot. Lalu blar, seperti biasa kenyataan punya caranya sendiri buat ngegampar, karena sekarang saya menjadi orang yang, ugh. Seperti itu.
Saya punya semua keluhan untuk kantor saya sekarang, kecuali dua : gaji yang lumayan dan teman-teman yang sulit ditinggalkan. Itu saja, boro-boro improve skill. Malah part time job saya memberi lebih banyak pelajaran baru. Bukan tanpa keluhan, tapi jelas lebih membuat saya puas hati sebagai individu yang merasa mau lebih banyak belajar.
Kenapa nggak resign saja? Memang terlintas di pikiran saya untuk freelance sajalah selagi belum dapat kerjaan. Tapi financial plan tentu bakal berubah banyak. Memang sih rejeki nggak kemana, tapi entah kenapa saya sejak dulu bukan tipe orang yang suka ambil resiko dalam keuangan dan pekerjaan. Nggak bakat bisnis, berarti :p
Entahlah. Currently looking for a new job, maybe i'll just browse the internet.
Doakan saja, ya.
I dont wanna be a robot. I'd rather be a zombie.